Modal Caleg Perempuan dan Politik Patriarkhi dalam Pemilihan Umum di Indonesia:

fokusber | 8 June 2024, 09:36 am | 54 views

*  Keterwakilan Perempuan pada Pemilu 2019 di Kabupaten Sleman

Tingkat keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia tidak terlepas dari ragam faktor, salah satunya adalah modal yang dimilikinya. Kajian ini menjelaskan modal yang dimiliki caleg perempuan di tengah politik patriarkhi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dengan fokus analisis pada kasus Kabupaten Sleman pada 2019.

Keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD di kabupaten ini merupakan tertinggi dibanding kabupaten lain di Yogyakarta, yaitu sebanyak 13 kursi (26%) dari total 50 kursi. Kajian ini menemukan bahwa meski perolehan kursi perempuan tampak terus meningkat, tetapi peningkatannya tidak signifikan karena modal caleg perempuan dikendalikan oleh politik patriarkhi melalui medan Pemilu.

Dengan menggunakan teori Bourdieu tentang modal, artikel ini berargumen bahwa modal –politik, sosial, ekonomi dan simbolik- diyakini sangat penting bagi perempuan untuk terjun dalam politik, tetapi pada kenyataannya modal itu ditentukan oleh habitus politik patriarkhi dalam kesadaran caleg perempuan dalam mengarungi medan persaingan politik Pemilu yang umumnya didominasi oleh struktur kelas laki-laki. Karena itu, meski sistem politik dalam Pemilu menyediakan afirmasi bagi caleg perempuan, dalam praktiknya, dominasi habitus politik patriarki yang dikendalikan oleh struktur kelas dalam masyarakat tidak memungkinkan caleg perempuan untuk mendapatkan suara yang lebih banyak dibanding laki-laki.

 

* Keterwakilan Politik Perempuan di Kabupaten Sleman

Selama ini dunia politik sangat identik dengan laki-laki. Kesetaraan dan keadilan gender dalam politik dianggap masih belum optimal. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari partisipasi perempuan pada jabatan publik yang masih sangat minim. Walaupun data proyeksi pertumbuhan penduduk berjenis kelamin perempuan tahun 2018 menunjukkan angka 131,88 juta jiwa dari 265 juta jiwa penduduk Indonesia, tetapi belum sesuai dengan jumlah perempuan belum representatif di lembaga-lembaga pembuat dan pengambil keputusan politik. Secara historis, partisipasi politik perempuan di Indonesia diketahui sangat rendah selama tiga dekade periode Orde Baru (1967-1998) baik di tingkat nasional maupun daerah (Robinson 2000).

 

Berbagai hambatan struktural termasuk aturan partai politik diyakini menghalangi perempuan untuk memasuki lembaga politik. Selain itu, beragam nilai patriarkhis menghalanghalangi perempuan untuk mengambil posisi publik dan berpartisipasi dalam urusan publik. Hal ini membuat hanya sedikit perempuan yang terpilih sebagai anggota dewan dan hanya beberapa perempuan saja yang menjadi bupati, gubernur atau pejabat pemerintah di level nasional. Peningkatan keterwakilan politik perempuan tidak hanya di Tingkat nasional, tetapi juga di sejumlah daerah. Hal ini salah satunya terlihat pada hasil Pemilu DPRD Kabupaten Sleman di D.I. Yogyakarta. Provinsi ini memiliki empat kabupaten dan satu kotamadya, yaitu Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta.

* Modal Caleg Perempuan di Kabupaten Sleman dalam Pemilu 2019

Bagian ini akan menjelaskan tentang modal (capital) caleg perempuan pada Pemilu2019 di Kabupaten Sleman. Hal ini penting dijelaskan mengingat peningkatanketerwakilan politik perempuan dari Pemilu 2009, 2014, dan 2019 tidak dapat dilepaskan dari modal yang dimiliki oleh para caleg perempuan itu. Bourdieu mendefinisikan modal sebagai unsur penentu posisi agen dalam medan perjuangan kekuasaan politik. Ia menyebut adanya empat tipe modal yang idenya diambil dari lingkungan ekonomi, yakni modal budaya, sosial, ekonomi dan simbolik.

 

Keempat modal ini saling membutuhkan dan berkaitan, meski bukan berarti mengalami kegagalan jika salah satu modal tersebut tidak dipenuhi. Keempat modal ini sangat menentukan keberhasilan caleg perempuan sebagai ‘agen’ untuk dapat lolos dan berhasil menjadi anggota legislatif. 

Berikut beberapa modal Caleg Perempuan di Kabupaten Sleman dalam Pemilu 2019:

 

Modal Sosial

Modal sosial (social capital) yang terdiri dari relasi-relasi sosial yang bernilai di antara manusia merupakan salah satu modal yang harus dimiliki oleh caleg untuk dapat lolos dan mendapatkan kursi di DPRD.

 

Modal Politik

Modal politik (political capital) juga merupakan salah satu modal yang harus dimiliki oleh caleg untuk bisa lolos dan mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Sleman.

Modal Ekonomi 

Modal ekonomi (economic capital) menunjuk kepada dukungan dana atau finansial berupa uang baik berasal dari caleg sendiri ataupun partai politik dan pihak-pihak lainnya. Sistem pemilu terbuka dengan suara terbanyak membuat

setiap caleg harus menyiapkan modal ekonomi yang sangat besar dengan tujuan untuk memenuhi ongkos politik yang dibutuhkan selama proses kampanye. Misalnya, keperluan membuat spanduk sebagai alat peraga kampanye, membayar relawan untuk membantu mengawasi jalannya pemilu, dan lain-lain. Kampanye dilakukan sebagai ajang promosi diri kepada masyarakat. Caleg akan melakukan berbagai cara untuk dapat mempengaruhi masyarakat agar mau memilih.

Modal Simbolik

Modal yang terakhir adalah modal simbolik (symbolic capital) yang berasal dari kehormatan dan gengsi seseorang. Salah satu bentuk modal ini adalah gelar pendidikan. Setiap perempuan dengan minimal berpendidikan SMA memiliki kesempatan untuk terjun di dunia politik.

 

Modal Caleg Perempuan, Habitus dan Medan Patriarkhi Politik

Bagian ini akan menganalisis aspek modal caleg perempuan di DPRD Kabupaten Sleman dalam Pemilu 2019 tersebut dilihat dari perspektif teori ‘habitus’ (habitus), ‘medan’ (field) dan ‘modal’(capital) Bourdieu. Analisis ini penting untuk menjelaskan bahwa modal caleg perempuan untuk terjun di dunia politik ditentukan oleh habitus politik patriarkhi dalam kesadaran dirinya untuk mengarungi medan persaingan politik Pemilu yang umumnya didominasi oleh struktur kelas laki-laki. Sistem patriarkhi politik dalam Pemilu merupakan medan yang membatasi caleg perempuan dalam bertindak. Karena itu, medan politik merupakan salah satu arena pertempuran, medan perjuangan, pasar terbuka bagi para caleg. Struktur medan politik menunjang dan menunjukkan strategi-strategi yang digunakan para caleg untuk meningkatkan posisi mereka di tengah dominasi struktur kelas laki-laki. Selain itu, habitus dan medan tidak terlepas dari modal (ekonomi, budaya, sosial dan simbolik dan politik). Bila habitus merupakan struktur kognitif dalam kesadaran individu dan kolektif, maka medan adalah suatu tipe pasar terbuka yang kompetitif tempat berbagai bentuk modal dipergunakan dan disebarkan. Tetapi, yang paling penting adalah medan kekuasaan (politik); hierarki hubungan kekuasaan di dalam medan politis membantu menstrukturkan semua medan lainnya. Posisi berbagai agen (seperti caleg perempuan) di dalam medan itu ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif modal yang dimiliki. Para caleg perempuan di dalam medan politik menggunakan berbagai strategi. Melalui strategi itulah caleg perempaun berusaha, secara individual atau kolektif, melindungi atau memperbaiki posisi mereka.

 

Kesimpulan

 Artikel ini menjelaskan modal yang dimiliki caleg perempuan di tengah habitus politik patriarkhi dalam medan Pemilu 2019 di Kabupaten Sleman. Meskipun perolehan kursi perempuan terus meningkat, peningkatannya tidak pernah signifikan. Salah satu sebabnya adalah modal caleg perempuan dan habitus politik yang dikendalikan oleh struktur kelas patriarkhi melalui medan Pemilu. Dengan menggunakan teori Bourdieu tentang modal, habitus, dan medan, artikel ini menunjukkan bahwa habitus caleg perempuan dibentuk oleh interaksi sosial diri mereka dalam aktivitas politik yang dikuasai oleh laki-laki. Karena itu, walaupun sistem politik dalam Pemilu menyediakan afirmasi bagi caleg perempuan, dalam praktiknya, dominasi habitus politik patriarkhi yang dikendalikan oleh struktur kelas laki-laki dalam masyarakat tidak memungkinkan caleg perempuan untuk mendapatkan suara yang lebih banyak dibanding laki-laki. Faktor modal politik, ekonomi, sosial, budaya dan simbolik sangat penting untuk terjun dalam politik bagi caleg perempuan. Tetapi, modal-modal ini ditentukan oleh habitus politik patriarkhi dalam kesadaran diri para caleg perempuan dalam mengarungi medan persaingan politik Pemilu yang umumnya didominasi oleh struktur kelas laki-laki. Semua ini merupakan praktik politik yang mencerminkan kekerasan simbolik dan lembut sehingga dominasi patriarkhi tampak sah dan “memihak perempuan” yang kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan dan kebijakan politik. (Tulisan/ Putri Nur Zahroh)

 

Berita Terkait